Ber-Aksara Jawa

Kalya Baheloon
3 min readJul 3, 2021

--

Seumur hidup saya tinggal di tanah Jawa tepatnya di Jawa Tengah, saya selalu disuguhi mata pelajaran Bahasa Jawa. Meskipun notabenenya saya orang Jawa asli berdasarkan garis keturunan sebelum saya, mendapatkan nilai rendah di Bahasa Jawa bukanlah hal yang jarang bagi saya. Apalagi kemampuan tata bahasa krama saya yang dari masa menginjak bangku SD hingga lulus SMA pun hanya bisa mengucapkan sebatas subjek predikat saja seperti “Bapak siram” yang artinya “Bapak mandi”.

Namun, ada satu sub-bab yang menjadi penolong atas nilai rendah saya, yang selalu saya kerjakan pertama ketika soal ujian akhir, tak lain adalah huruf-huruf hanacaraka atau yang biasa disebut Aksara Jawa. Jika diberikan satu set soal huruf hanacaraka, saya berani menyebutkan angka besar untuk nilai saya. Baik menulis maupun membaca hanacaraka adalah hal yang mudah bagi saya. Walaupun penggunaan bahasa Jawanya tidak memadai, he he he.

Kebudayaan Jawa erat dengan unsur-unsur filosofis dan terkenal dengan segi historis spiritualnya. Sejarah Aksara Jawa pun dapat dilihat dari sisi tradisional, sebuah kisah yang dimulai dari tokoh Prabu Aji Saka. Kisah tradisional ini menjelaskan bahwa Aksara Jawa diciptakan oleh seorang raja yang berkuasa di Medhang Kamulan yang bernama Aji Saka. Aji Saka konon menciptakan abjad aksara tersebut sebagai bentuk ekspresi kesedihan karena kehilangan dua abdi setianya, yaitu Dora dan Sembada.

Sedangkan, jika dilihat dari sisi ilmiahnya, akar dari Aksara Jawa adalah Aksara Brahmi di India. Aksara Jawa juga berevolusi dari Aksara Kawi dan Aksara Pallawa. Selama kurang lebih 500 tahun antara abad ke-15 hingga awal abad ke-20, aksara Jawa digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat sehingga gaya penulisannya pun berkembang menjadi berbagai variasi dan digunakan silih-bergantian sepanjang sejarah penggunaannya. Aksara Jawa umumnya digunakan sebagai tradisi yang tertanam di lingkungan keraton pada pusat-pusat budaya Jawa seperti Yogyakarta dan Surakarta.

Jika menggabungkan dua pandangan tersebut, dapat disimpulkan kisah Aji Saka secara implisit menandakan kedatangan bangsa India ke tanah Jawa. Kedua narasi tersebut juga memiliki makna simbolisme bagi Orang Jawa dan ada sisi historis spiritualnya. Aksara Jawa lebih dari sekedar tulisan dan daftar-daftar huruf, terdapat pesan kehidupan dan makna filosofi yang dipercayai oleh Orang Jawa.

Makna yang paling menarik bagi saya adalah setiap huruf dan kalimat Aksara Jawa memilki arti dan maksudnya tersendiri. Saya paling suka arti dari bait kedua Aksara Jawa, yaitu Da-Ta-Sa-Wa-La. Da: Dumadining dzat kang tanpa winangenan, yaitu menerima hidup apa adanya. Ta: Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa, yaitu mendasar, totalitas, atau visi, ketelitian dalam memandang hidup. Sa: Sifat ingsun handulu sifatullah, yaitu membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan. Wa: Wujud hana tan kena kinira, yaitu ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas. La: Lir handaya paseban jati, yaitu mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi. Lalu, secara keseluruhan Da-Ta-Sa-Wa-La berarti menusia telah diciptakan sampai dengan data yaitu saatnya (dipanggil). Manusia tidak bisa sawala atau mengelak dari takdirnya. Manusia harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan. Cukup relate dengan saya generation z yang hobi-nya main sosial media dan tidak berhenti-hentinya membandingkan takdir saya dengan orang lain.

Pada bagian akhir ini, saya akan mencoba mengutarakan mengapa Aksara Jawa itu penting serta merupakan sebuah kekayaan budaya dengan pendekatan generation z yang pengetahuan riset-nya baru bisa dibilang cukup. Sadar nggak, sih, kalau Aksara Jawa itu hanya dimiliki oleh orang Jawa? Tidak semua bahasa di dunia ini yang jumlahnya mencapai 6000 bahasa mempunyai aksaranya sendiri, lho. Bayangin, deh, kalau kita penduduk Jawa memilki keyboard yang berbeda dari daerah lain di Indonesia. Menurut saya, memiliki bahasa dan huruf yang hanya bisa dimengerti saudara saya dari tanah kelahiran dapat memberikan rasa eksklusif (atau istilah sekarangnya edgy) terhadap budaya itu sendiri, tanpa bermaksud superior terhadap budaya yang lain tentunya.

Akhir kata, semoga tulisan santai ini dapat memberi sedikit gambaran tentang Aksara Jawa dan dapat mempengaruhi Anda, baik orang Jawa maupun bukan, untuk mempelajari Aksara Jawa. Selagi menulis ini pun saya belajar kembali berbahasa krama dan menuliskannya dengan hanacaraka(maaf, skill menulis hanacaraka saya memang tidak pernah baik).

Ditulis dalam latin : Cekap semanten ingkang saget kula aturaken.

--

--